Dari Bangsa Pribumi Muslim Di Hindia Timur
Sebagai TITIK NOL sebuah pergerakan-pergerakan dalam Islam yang pada akhirnya menjadi sebuah model pemerintahan di ‘Indonesia’, yang sebagaimana tulisan tinta goresan sejarah mencatatnya sebagai Proklamasi Piagam Djakarta (22 Juni 1945) dan Proklamasi Negara Islam Indonesia (7 Agustus 1949). Sementara itu, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang melahirkan kembali pada 17 Agustus 1959, sesudahnya masa-masa krisis 1945-1959 sebelumnya, kini tengah menghadapi dilema ideologis yang begitu lebar antara pemahaman sekulerisme – kapitalisme, atau sekularisme – komunis.
Pada zaman kolonial, memang terjadi banyak sekali pergolakan-pergolakan yang membuat kondisi tata pemerintahan di Indonesia sedikit goyah. Sehingga dapat dikatakan, bahwa zaman sejarah dulu berbeda dengan zaman modern sekarang ini. Oleh karena itu, izinkan saya untuk menulis resensi terkait hal-hal yang patut diambil pelajaran. Titik Nol itulah yang menjadi pemandu bagi umat muslim bahwa sebagai Warga Negara Indonesia yang mayoritas muslim sudah seyogyanya untuk mewujudkan Islam sebagai Dinulloh dan Al-qur’an sebagai Kitabullah, yaitu Islam yang dijalankan dengan sepenuh-penuhnya dan seluas-luasnya (kaffah), meliputi aspek politik, pemerintahan, ekonomi, sosial, budaya, pendidikan, dan pertahanan keamanan.
Sehingga dijelaskan pula dalam buku ini bahwa sebuah kesadaran sejarah kepada bangsa muslim Indonesia, sebagai Titik Nol kehendak berpemerintahan sendiri di negeri ini haruslah berlandaskan Islam, dan bersyariat dengan Islam sebagai pandangan hidup, pandangan dunia (world view), hukum, dan pengaturan berkehidupan berpemerintahan. Adanya penjajahan di Indonesia bukan hanya sekedar 3G (Gold, Glory, Gospel) semata, melainkan karena ada maksud untuk menguasai etnis-etnis dan kesultanan atau kerajaan di Nusantara, sebut saja Majapahit, Singosari, dan lain sebagainya. Oleh karena itu, buku menerangkan tentang kuantar ke Gerbang Nol, dengan kata lain selama masa penjajahannya mereka (bangsa kolonial) ingin sekali mendapatkan yang mereka inginkan, dan sangat disayangkan bahwa bangsa Indonesia itu merupakan bangsa yang kuat dan pantang menyerah. Sehingga banyak sekali pahlawan Indonesia yang berguguran saat masa kolonial tersebut.
Sebut saja pada tiga peristiwa penting pada sekitaran abad ke-18, yang merupakan titik awal perlawanan bangsa Indonesia. Pertama, perang Jawa (1825-1830) sebagai awal mulainya kolonialisme kerajaan Protestan Belanda lewat sistem tanam paksanya (rodi), atas Jawa dan berlanjut kepada kepulauan lainnya di Nusantara. Yang kedua, di Banten terdapat perlawanan Petani Banten yang saat itu bertepatan tanggal 9 Juli 1888 yang dipimpim oleh Haji Wasid, merupakan seorang murid Syeikh Nawawi al Bathani dan beberapa tokoh lainnya, seperti Abdul Karim, Haji Tubagus Ismail, Haji Abdurrahman dan Haji Akib, Haji Haris, dan Haji Arsyad Qashir. Dan peristiwa ketiga ialah perlawanan rakyat Betawi melalui organisasi perlawanan PITUAN PITULUNG yang lebih dikenal dengan sebutan PITUNG (1880).
Saat itu dibawah kepemimpinan KH. Naipin. Nama Pitung yang berarti “7 Pendekar Penolong” itu adalah Radin Muhammad Ali Nitikusumah, Ratu Bagus Muhammad Roji’ih Nitikusumah, Abdul Kodir, Abdus Somad, Saman, Rais, dan Jebul (KI Dullah / Abdullah).
HOS. Tjokroaminoto, di Surabaya ia mulai aktif berorganisasi dan menjadi ketua perkumpulan Panti Harsoyo sebelum masuk Sarekat Islam (selanjutnya disebut SI) yang berada dibawah pimpinan H. Samanhoedi. Melalui H. Hasan Ali Surati, seorang saudagar kaya dari India yang menjadi ketua Perkumpulan Manikem, Tjokroaminoto diperkenalkan dengan empat pengurus SI yang sedang menajajaki pembukaan cabang disana. Sejak itulah Tjokroaminoto menunjukkan ketertarikannya dan resmi menjadi anggota SI untuk kemudian menjadi ketua cabang di Surabaya. Oleh Tjokroaminoto, SI menjadi organisasi pergerakan pertama yang berskala nasional (bukan Budi Utomo seperti yang dikenal oleh masyarakat awam dewasa ini) yang mampu mengadakan mobilisasi massa dalam sebuah vergadering (rapat terbuka) yang diadakan pada 26 Januari 1913 di Surabaya. Rapat terbuka tersebut dihadiri 12 afdeling (cabang) dari 15 afdeling yang ada dan berhasil menyedot atensi massa sebanyak 80.000 orang.
Tjokroaminoto yang telah mengonsolidasikan kekuatannya diangkat sebagai ketua. Di Jawa Tengah misalnya, Tjokroaminoto yang sebelumnya wakil ketua SI mulai menandingi Samanhoedi dan turun ke cabang-cabang. Sementara di Jawa Timur, SI jelas berada di bawah kendali Tjokroaminoto. Ia orang yang paling berpengaruh di Surabaya. Ia mengontrol Utusan Hindia dan menjadi ‘Rajanya’ vergadering. Pada agustus, Tjokroaminoto semakin kuat menancapkan pengaruhnya dengan mengalahkan Hasan Ali Soerarti, orang yang mendirikan Setia Usaha dan toko-tokonya, dan mengambil alih jabatan Soerarti sebagai direktur Setia Usaha. Untuk memperluas pengaruh SI di bawah kendalinya, ia mengumpulkan kawan-kawannya dan mendistribusikan jabatan pada mereka. Rumah Tjokroaminoto sendiri secara de facto menjadi kantor SI Surabaya dan kemudian menjadi kantornya CSI.
Selain itu kepiawaian Tjokroaminoto sebagai negosiator ulung tidak perlu diragukan lagi. Melalui lobi-lobinya kepada pemerintah Belanda, SI berhasil memperoleh status hukum dan mengubah afdeling-afdeling menjadi SI lokal. Selain itu, SI juga berhasil mendapat izin untuk membentuk kepengurusan pusat yang kemudian dinamai Central Sarekat Islam (CSI). Sampai kongres kedua sudah 60 afdeling yang berhasil diubah menjadi SI lokal dan nantinya terus bertambah. Maka, amat wajar pengaruh Tjokroaminoto semakin besar dan banyak cabang-cabang yang meliriknya untuk menjadi suksesor Samanhoedi.
Tjokroaminoto yang pada awalnya terlihat diam mulai bangkit dan menyerang baik kelompok nasionalis yang dimotori oleh muridnya, Soekarno. Ia menyadari kini PSI telah mundur dibandingkan masa-masa sebelumnya dan sekarang popularitasnya sedang digantikan oleh PNI. Di rapat internal PSI, Tjokroaminoto menuduh di antara organisasi-organisasi lainnya, PNI-lah organisasi yang paling berbahaya dan berusaha menghancurkan PSI. PNI telah berusaha menarik para anggotanya dan karena itu Tjokroaminoto meminta anggotanya tidak meninggalkan PSI, apalagi memasuki organisasi yang tidak berazazkan Islam. Kemudian PSI demi untuk mengakomodir dan menjaga agar nasionalisme dan cinta tanah air tidak hanya diindentikkan dengan kaum nasionalisme sekuler, pada Kongres Nasionalis yang ke XIV di Jakarta pada Januari 1929 memutuskan untuk mengubah namanya menjadi Partai Sarekat Islam Indonesia (selanjutnya disebut PSII), walaupun warna Islamnya tetap dominan.
Sehingga muncul sebuah pertanyaan yang mungkin terngiang-ngiang dalam pikiran, yakni terkait ‘Zelfbestuur’ jiwa titik Nol. Apa arti dari itu semua?
Bangsa Indonesia sebagai Negara Hukum yang sangat menjunjung sekali makna dari Pancasila (konstitusi tertinggi). Dan dalam pergerakan ke arah yang lebih baik, maka Indonesia perlu merdeka dari segala aspek, bukan hanya secara fisik saja. Melainkan harus secara tersirat, bangsa merdeka merupakan agenda bawah sadar yang muncul dalam gerakan masa akan penentuan nasib dan masa depan bangsa pribumi serta keinginan bebas dari pemerintah negara kolonial. Dalam pidatonya HOS Tjokroaminoto tanggal 17 Juni 1916 di Bandung telah mengutarakan gagasannya sebagai ide yang begitu cemerlang, yakni pembangunan pemerintahan yang berdasarkan good government yang mandiri adalah sebuah cita-cita perjuangan bangsa Indonesia (ius Constitutum). Perubahan struktur ekonomi dalam sebuah negara dapat menimbulkan efek domino pada aspek-aspek pemerintahan lainnya, seperti politik, sosial, dan lain sebagainya. Indonesia dikenal sebagai negara agraris dan maritim, karena terdapat banyak sekali tanah hampar dan begitu banyak pulau dan lautannya. Daripadanya terdapat pergerakan atau lonjakan penduduk di Indonesia, terbukti memang menurut lembaga survei dunia, Indonesia berada pada posisi ke-4 dalam jumlah terbanyak penduduknya. Karena pada realita yang terjadi perubahan struktur kependudukan dan ketenagakerjaan yang semakin memperburuk pengangguran, kemiskinan, kesenjangan, tekanan globalisasi, dan terpisahnya dari sektor keuangan (riil).
Buku ini menuntut akan pentingnya ilmu dalam bentuk risalah yang dibawa oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam hingga akhir zaman nanti. Buku ini menyuguhkan ilmu pengetahuan yang ilmiah-akademik di bidang sejarah Bangsa Pribumi Muslim di Hindia Timur. Dalam kaitannya dengan Zelf Bestuur ini (titik nol) maka pada realitas sesungguhnya, sebuah kontekstualitas dari jiwa titik nol itu sendiri adalah sebagai ibrah atau pelajaran baik yang dapat diambil. Sebagaimana ibrah yang baik adalah ibrah nubuwwah, Baginda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam. Pejuang dan guru-guru ulama sekalian yang selalu memberikan suri tauladan yang baik, dari segi perilaku bersikap maupun adap sopan santunnya yang untuk selalu diingat dan berjuang bersama hanya atas nama Allah Azza wa Jalla. Bahkan sampai detik-detik akhir menjelang hayatnya, ushwah berjuang untuk ummatnya dan bukannya sendiri-sendiri apalagi untuk kepentingan pribadi, tetap terucap melalui tiga kata sakral Beliau, ‘Ummati, ummati, ummati, seakan menjadi simbol perjuangan tanpa henti, sepanjang hayat di kandung badan.
Dalam Qur’an Surat Ash-Shaff ayat 4 “innallaha yuhibbulladzina yuqootiluuna fi sabilihi shaffa ka’annahum bunyaanum marshush”, Rasul berpesan sebagai implementasi bahwa keutamaan berjuang di jalan Allah adalah dalam kebersamaan (jamaah) barisan (shaf) yang teratur, seperti bangunan yang tersusun kokok dan kuat, itulah barisan ummah serta ayat 11 dalam surat yang sama “bi amwalikum wa anfusikum”, yakni dengan harta dan jiwa. Maka, sebagaimana ditegaskan dalam qur’an surat Az-Zumar ayat 73, “wasiiqolladzinattaqow robbahum ilal jannati zummaro”, barisan ummat atau rombongan orang-orang bertaqwalah yang dijanjikan surga-Nya. Saya rasa itu semualah yang seharusnya menjadi pemantik rasa semangat yang bergelora yang akan membangun semangat dakwah di Bumi Pertiwi ini, serta itulah yang menjadi Simbol Perjuangan kita semua sampai kapanpun. Mengutip dari Dr.Ir. Doedoeng Zaenal Arifin, M.Pd selaku ASN Kementrian PUPR, dan sebagai alumni MENWA ITB angkatan 22/1988 pula. “Bangsa yang besar adalah yang mengakui kebenaran/ keorisinalitas sejarah bangsanya”, ujarnya. Tagline atau sebutan apik ini mampu mendobrak dan membukakan mata siapapun di era sekarang ini (jaman Now), akan kebenaran sejarah suatu bangsa selama ini tak banyak difahami oleh masyarakat Indonesia karena mungkin telah ditutupi oleh pengaruh bangsa lain yang telah merubah mindset daripadanya. Oleh karena itu, kita difahamkan dengan buku ini, bahwa sesungguhnya Proklamasi Republik Indonesia 17 Agustus 1945 dijiwai oleh momentum penting dalam sejarah sebelumnya, yakni pernyataan keinginan berpemerintahan sendiri (zelfbestuur) yang dipelopori sang Guru Bangsa, HOS Tjokroaminoto pada NATICO I 1916.
Produk peradaban bernama “Indonesia” adalah anti klimaks sejarah. Ia terbentuk melalui resultan “Kenekadan” gerakan-gerakan nasionalis-religius pra kemerdekaan. Gerakan ini melahirkan “cerita” tentang orang-orang berdedikasi besar dalam mewujudkan “rumah” republik yang didambakan. Mereka-mereka adalah kaum terpelajar (intelektual) yang berpikir melampaui waktunya dengan mengesampingkan pertimbangan individualisme dan fakta kemapanan material. Mereka adalah penggelora nasionalisme yang saat itu masih kuncup. Dalam gelora narasi kebangsaan, HOS Tjokroaminoto mendeklarasikan ihwal “perlunya berdiri serempak berjuang menghalau bahaya yang mengancam terwujudnya Zelfbestuur”. Artinya, sudah tiba saatnya anak negeri ini mempunyai hak turut berbicara dalam soal-soal pemerintahan, yang mengatur nasib mereka. Sosok yang banyak melahirkan punggawa bangsa ini, tidak hanya telah meletakkan fondasi awal kemerdekaan, namun ia juga telah meretas jalan menuju kedaulatan negara. Yang pada akhirnya sesuatu yang menjadi impulsif bagi spirit-spirit pergerakan emansipasi yang lebih luas, terkhusus menjadi titik awal kehendak berpemerintahan sendiri (Zelf bestuur) 1916 dari Bangsa Pribumi Muslim di Hindia Timur ini.
Yang pada akhirnya, penulis berkesimpulan bahwa landasan pembangunan dan pertumbuhan yang sepenuhnya bertujuan materialisme tidak akan membawa pada kesejahteraan dan keberhasilan di dunia dan akhirat. Oleh karenanya, banyak negara yang secara umum pertumbuhan ekonominya (GND= Gross National Demand) tinggi tapi tidak disertai dengan perubahan kondisi sosial seperti kemiskinan dan pengangguran masih banyak. Dengan demikian pula, pembangunan dan pertumbuhan harus disertai sebuah usaha analisis program pemerintahan yang kuat, sinergis, dan berintegritas tinggi sehingga akan terciptanya struktur mekanisme yang baik (good Government). Serta harus bersifat komprehensif mencakup aspek tangible dan intangible, termasuk pembangunan manusia harus dilakukan karena manusia adalah makhluk sosial dan terfokus pada pembangunan infrastruktur dan sistem.
Pada langkah awalnya adalah membangun aspek spriritual atau keimanan manusia karena melalui ini manusia akan terkoneksi dengan sendi kehidupan riil lainnya. Maka untuk mewujudkannya model pembangunan spriritual dynamic development akan mengantarkan laju pertumbuhan dan pembangunan pada kemerdekaan sejati (alfalah) dengan syarat nilai spiritual harus lebih tinggi daripada nilai aktivitas ritual yang biasa dilakukan sehari-hari. Spiritual dynamic development bukanlah model pembangunan yang sufistik tapi model pembangunan yang seimbang sebab variabel non-spiritual pun menjadi pengaruh nilai pencapaian pembangunan.