Oleh Nunu A Hamijaya
Pengantar Diskusi Tim Penulisan
Sejarah Perjuangan Umat Islam Di Indonesia
Sejarah Perjuangan Umat Islam Di Indonesia
Bandung, 6 Mei 2023
Bagian KEDUA
PENGANTAR
Topik ‘meluruskan sejarah’ salah satu diskusi menarik yang berkembang dalam pertemuan. Sejarawan akademis Moeflich H. Hart mengawali pembicaaan tersebut. Tentunya dari perspektif peran ISLAMIS dan Umat Islam (Ulama dan umat islam). Salah satu upaya nyata dalam rekonstruksi peran perjuangan Islam Bernegara di Indonesia, menurutnya telah ditempuh Nunu A Hamijaya dengan buku Tetralogi Islam Bernegara, dari mulai buku TITIK NOL – Zelfbestuur (1916) hingga buku 1 Negeri 3 Proklamasi-nya. Dalam buku 1 N 3 P dilampirkan pula MILESTONE antara ISLAM BERNEGARA & NASIONALISME INDONESIA, yang masing-masing memiliki JALUR-REL-nya.
Yang dimaksud dengan ISLAMISASI SEJARAH, tentu saja berarti fakta sejarah yang menunjukkan peran ISLAM dan Umat-nya dalam perjalanan sejarah keINDONESIA-an, bukan sekadar COCOKOLOGI, tanpa fakta dan dokumentasi.
Dalam tulisan Moeflich H Hart, berjudul TAK ADA YANG MENCINTAI INDONESIA MELEBIHI UMAT ISLAM, beliau menulis
Tak ada yang mencintai Indonesia melebihi umat Islam, karena cintanya itulah, para ulama awal masuk ke Nusantara, mengislamkan negeri ini dan membawanya “min adz-dzulumāti ilā an-nūr” (dari kegelapan kepada cahaya pentunjuk), sehingga yang tadinya penduduk Nusantara yang menyembah dewa-dewa beralih menjadi menyembah Tuhan yang benar, Allah Subhanahu wa Ta’ala. Allah menyiramkan hidayah di bumi Nusantara setelah ajaran-Nya didakwahkan oleh para ulama utusannya sebagai warāsatul anbiyā.
Tak ada yang mencintai Indonesia melebihi umat Islam, karena setelah negeri ini berada di bawah pemerintahan kesultanan² Islam, dengan kontrol dan bimbingan para ulama, mereka tidak sudi dan melakukan perlawanan bahkan pemberontakan ketika negeri subur nan berkah ini akan dikuasai oleh orang-orang kafir, Portugis, Belanda, Inggris dan Jepang, bangsa-bangsa asing kulit putih yang datang bergantian ingin menguasai negeri, merampas dan merampok kekayaan alamnya.
Tak ada yang mencintai Indonesia melebihi umat Islam, karena kehendak bernegara sendiri (zelf-bestuur) agar penduduk Nusantara tidak terus berada dalam penguasaan kolonial asing, agar bermarwah, berharga diri dan bisa menentukan nasibnya sendiri, pertama kali disuarakan oleh seorang guru bangsa dan pemimpin Islam, Hadji Oemar Said Tjokroaminoto, 29 tahun sebelum Indonesia merdeka, dalam acara National Congress, NATICO-1 Central Sarekat Islam, 17-24 Juni 1916 di Bandung. Setelah diawali HOS Tjokroaminoto dan SI, kemudian ide zelf-bestuur itu terus menguat menjadi gerakan kemerdekaan seluruh komponen bangsa hingga bebas merdeka tahun 1945.
Tak ada yang mencintai Indonesia melebihi umat Islam, karena setelah Indonesia merdeka, dalam perumusan dasar negara dalam sidang BPUPKI, yang tadinya syariat Islam sudah disahkan sebagai Piagam Jakarta, untuk diberlakukan pada umat Islam Indonesia, agar negeri ini berkah dan diridhai, meneruskan kesultanan² Islam sebelumnya, sebagai hasil musyawarah bersama seluruh founding fathers dan tokoh-tokoh bangsa, tetapi kemudian, aspirasi yang sangat prinsipil dalam kehidupan umat itu, dengan sangat getir, pahit dan luka yang dalam, rela dihapuskan kembali demi untuk menghindari perpecahan negeri yang baru merdeka, demi keutuhan bangsa, demi kebersamaan semua dan demi toleransi yang tak ada bandingannya dalam sejarah Indonesia. Padahal, perpecahan itu baru kekhawatiran, belum tentu terjadi. Umat Islam Indonesia memang luar biasa, sangat tak pantas mereka diajari toleransi, justru pada Islamlah yang lain harus belajar toleransi.
(dilanjutkan dengan Peran Umat Islam di Priangan Timur, 1948-1949)
Mengutip pernyataan ASVI WARMAN ADAM, tentang aktivitasnya dalam “Menulis sejarah kontemporer, hal-hal kontroversial, yang terkait dengan pelurusan sejarah. Peristiwa-peristiwa dalam sejarah kontemporer itu dulu dibengkokkan oleh rezim.Pada masa lampau, sejarah yang diajarkan di sekolah lebih banyak bercerita tentang PEMBERONTAKAN. Seakan-akan Indonesia, sejak 1945-1965, hanya berisi serangkaian pemberontakan, lalu ada tentara yang berhasil menumpas pemberontakan dan jadi pahlawan. Padahal cerita Indonesia tidak hanya tentang itu. Pemberontakan itu harus dilihat dari perspektif lebih komprehensif.
Munculnya berbagai versi buku sejarah merupakan suatu yang positif. Namun, buku-buku saja tidak cukup. Sejarah perlu diajarkan di sekolah. Untuk mengajar di sekolah perlu ada pedoman. Maka, Prof.Daniel Mohammad Rosyid dan H.Bambang bertekad menjadikan buku sejarah yang akan disusun ini sebagai buku panduan bacaan guru-ustad-ulama-dan satri yang berkoneksi jejaringnya dengan MPUII-nya.
3 KLASIFIKASI PENULISAN SEJARAH
Taufiq Abdullah dan Abdurrahman Surjomiharjo mengklasifikasikan penulisan sejarah di Indonesia menjadi 3 jenis.
Pertama, sejarah ideologis yaitu penulisan yang bertitik tolak pencarian arti subjektif dari peristiwa sejarah. Masa lampau dipelajari bukan demi pengetahuan masa lampau, tetapi demi lambang yang bisa digunakan untuk mengetahui masa kini. Contoh penulisan sejarah dalam jenis pertama ini seperti Mohammad Yamin mengenai Sejarah Kuno Indonesia, Ruslan Abdul Gani mengenai Sejarah Pergerakan Nasional dan Nugroho Notosusanto mengenai Sejarah Militer Indonesia.
Kedua, yaitu sejarah pewarisan. Ciri utama penulisannya adalah kisah kepahlawanan perjuangan kemerdekaan dan pelajaran yang dapat diambil dari karya-karya perjuangan kemerdekaan. Pelajaran yang dapat diambil dari karya-karya semacam ini adalah betapa para patriot Indonesia berjuang menentang hambatan-hambatan yang menderita kesulitan fisik dan psikis demi mencapai kemerdekaan. Contoh penulisan seperti ini yaitu buku karya Abdul Haris Nasution (Jenderal Purnawirawan) yang berjudul Sekitar Perang Kemerdekaan.
Ketiga, yaitu sejarah akademik. Penulisan semacam ini tidak bersifat ideologis dan filosofis, akan tetapi memberikan gambaran yang jelas mengenai masa silam yang didasarkan pada etika akademik. Tulisan semacam ini tidak semata-mata dibuat dalam bentuk kisah, melainkan cenderung bersifat struktural. Menggunakan pendekatan ilmu sosiologi, antropologi, politik, dan ilmu-ilmu sosial lainnya. Contoh penulisan semacam ini adalah karya Sartono Kartodirdjo tentang Pemberontakan Petani Banten 1888, Soemarsaid Moertono tentang Negara Nation Indonesia, Deliar Noer mengenai Gerakan Modernisme Islam di Indonesia (1973), dan disertasi Alfian mengenai Muhammadiyah di Masa Penjajah
Konroversi : Antara Meluruskan dan Menghilangkan Jejak Sejarah
Dunia pendidikan sejarah di Indonesia heboh gara-gara terbitnya buku KAMUS SEJARAH INDONESIA Jilid I Nation Formation (1900-1950) dan Kamus Sejarah Indonesia Jilid II Nation Building (1951-1998).Penerbitnya adalah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) dengan ISBN Perpustakaan Nasional guna melakukan pencarian nomor ISBN yang tercantum dalam buku tersebut, yakni 978-602-1289-76-1 untuk jilid I dan 978-602-1289-77-8 untuk jilid II.
Hal yang serupa dilakuma pula dalam buku dalam salah satu buku terbitan Museum Kebangkitan Nasional – Ditjen Kebudayaan – Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (2017) berjudul H.O.S. Tjokroaminoto : Penyemai Pergerakan Kebangsaan & Kemerdekaan, peristiwa tentang hal tersebut tidak ada dilewatkan dan meloncat kepada peristiwa NATICO II (1917).
Peristiwa NATICO I ( 17 – 24 Juni 1916) di Kota Bandung terdapat dalam rekaman berita negara Pemerintahan Hindia Belanda, termasuk tentang Pidato ZELFBESTUUR-nya TJOKOROAMINOTO.Namun, hanya ada tiga buku berbahasa Indonesia yang membicarakan tentang Zelfbestuur dan NATICO I , yaitu buku berjudul Bunga Rampai Dari Sejarah, karya Mohamad Roem, Bulan Bintang,Jakarta,1972 dan buku berjudul Api Sejarah,karya Ahmad Mansur Suryanegara ; editor, Salman Iskandar : Salamadani Pustaka Semesta,Bandung. 2010. Yang terbaru, sebuah yang judulnya mengangkat tentang fenomenalnya peristiwattersebut sebagai salah-satu milestone sejarah Indonesia yaitu buku Titik Nol Kehendak Berpemerintahan Sendiri (Zelfbestuur,1916) , karya Nunu A Hamijaya, dkk ,(Pusbangter, Jatinangor, 2018).
Dalam buku terbaru KHILAFAH & KETAKUTAN PENJAJAH BELANDA Riwayat Pan Islamisme dr Istanbul s.d Batavia 1882-1928 karya sejarawan muda, Bung NICKO PANDAWA, bahkan narasi sejarah ptentik degan dukungan fakta dan dokumen menjelaskan
“ sepasukan perwira Utsmani menunggang kuda Arabnya, berkonvoi sambil menyapa warga Bandung, ” selamun’aleyküm …kumaha daramang?”
fakta historis itu pernah terjadi di Kota Bandung saat Sjarikat Islam mngadakan Kongres Nasional I epada 17-24 Juni 1916.
Sbgmn berita koran DE PREANGERBODE yang terbit pd 19 Juni 1916 memuji konvoi Pasukan Utsmani, “arak²an ditampilkan dengan begitu bagus, rapi & tertata”
Bahkan, saat konvoi para perwira Utsmani bersama para peserta kongres & warga Bdg lainnya, sedianya pr peserta konvoi akan membawa poster Sultan Mehmed V, bendera Utsmani & lambang osmanli devleti armisi sepanjang jalan dari Tegalega s.d Alun² kota Bandung.Namun, niat tadi dilarang burgemeester (walikota kolonial) Bertus Coops bahwa tidak ada bentuk dukungan apapun bagi Pan Islamisme Utsmani.
BIAS SEJARAH DAN KONTROVERSI SEJARAH
Sejarah adalah cerita atau catatan tentang kejadian yang objektif mengenai masa lalu. Sejarah memiliki informasi yang sudah dikaji secara matang dan menghasilkan beberapa keterangan valid, namun tidak jarang masih terdapat beberapa bias sejarah.
Hal tersebut selaras dengan pandangan dari New Historicism yang menyebutkan bahwa sejarah itu subjektif dan merupakan interpretasi atas masa lalu, bukanlah benar-benar masa lalu tersebut.
Oleh karena itu, sejarah masih bisa menimbulkan bias-bias pemikiran. Dalam dunia sejarah, masih bisa didominasi oleh kemungkinan-kemungkinan hingga asumsi-asumsi. Hal-hal tersebut bisa disebut bias sejarah atau historical bias.
Dalam judul tulisan ini terdapat konsep bias yang menurut kamus berarti (1) “a tendency to be in favour of or against something or someone without knowing enough to be able to judge fairly”; (2) “a tendency of mind”; (3) “prejudice”; (4) “partiality”.Dari pengertian-pengertian itu jelas terlihat bahwa konse bias mengandung makna tentang kecenderungan pikiran seseorang atau sekelompok orang yang ada kalanya membela satu pihak dan menentang pihak lain, keberpihakan, atau purbasangka.
Konsep “historical bias” mengandung makna adanya bias dalam merekonstruksi peristiwa sejarah sehingga melahirkan penuturan yang dianggap tidak jujur, penuturan yang memihak. Berbagai pihak menganggap bahwa penuturan itu tidak menggambarkan keadaan yang sebenarnya, melainkan telah membias (melenceng). Secara umum dipahami bahwa cerita sejarah berguna sebagai upaya membangun memori kolektif, sehingga dituntut menuturkan peristiwa di masa lalu itu secara jujur, relatif seperti apa adanya. Berkaitan dengan ini perlu kiranya diingat selalu pendapat Cicero yang menyatakan bahwa sejarah adalah magistra vitae (Lucey, 1984:14).
Dalam uraian selanjutnya, Lucey mengutip pendapat Cicero tentang ketentuan yang harus diingat dan dipatuhi oleh para sejarawan. “The first law of history is to dread uttering a falsehood; the next not to fear stating the truth.” (Lucey, 1984:15). (Hukum pertama sejarah adalah sungguh-sungguh takut mengatakan dusta; untuk selanjutnya tidak takut menyatakan kebenaran).
Sejalan dengan itu, orang bijak sering mengingatkan agar generasi sekarang ini tidak lupa berguru pada pengalaman di masa lalu. Narasi sejarah seharusnya tidak merupakan hasil pelintiran pengamat atau penulisnya yang dengan sengaja menyalahi hakikat sejarah sebagai ilmu yang mengutamakan obyektivitas. Akan tetapi, tugas sejarawan tidak sesederhana dan semudah tuntutan itu.
CONTROVERSIAL ISSUE
Konsep lain yang perlu mendapat sorotan adalah controversial yang berarti “causing much argument or disagreement.” Sebagai kata sifat, controversial diartikan sebagai yang banyak menimbulkan percekcokan atau ketidaksetujuan. Berkaitan dengan controversial issue, Stradling dengan kawan-kawan (1984:1-2) menulis sebagaimana dikutip berikut ini.
Often when people say that some topical theme in a syllabus is controversial they mean that it is politically sensitive. That is, that suspicions, anger or cocern may be aroused amongst some parents, pupils, the school governors or the Local Education Committee because of the inclusion of the topic in the curriculum or because of the way in which that topic is being taught.
Kutipan di atas secara eksplisit menyatakan bahwa suatu topik atau tema disebut kontroversial jika topik atau tema itu secara politis sensitif. Maksudnya, berbagai kecurigaan, kemarahan atau keprihatinan timbul di kalangan para orangtua, peserta didik, dan para pengelola sekolah karena pemasukan tema atau topik tersebut ke dalam kurikulum atau karena cara pembelajaran topik tersebut.
Berdasarkan pemahaman tentang makna yang disebutkan oleh Stradling dengan kawan-kawan di atas, controversial issue mengandung makna isu yang melahirkan perbantahan atau ketidaksetujuan. Perbantahan atau ketidaksetujuan tersebut bisa saja berkaitan dengan substansi atau isi isu tersebut, akan tetapi bisa juga berkaitan dengan cara pembelajaran atau pengajarannya.
Lebih lanjut Stradling dan kawan-kawan (1984:2) menulis sebagai berikut.
In a sense an issue is controversial ‘if numbers of people are observed to disagree about statements and assertions made in connection with the issue.’ They may not be able to agree because there is insufficient evidence is forthcoming.
Dalam beberapa hal suatu isu disebut kontroversial jika sejumlah orang tidak menyetujui pernyataan-pernyataan yang dikeluarkan orang berkaitan dengan isu itu. Ketidaksetujuan itu boleh jadi disebabkan oleh ketidakcukupan bukti yang ditemukan. Akan tetapi tidak jarang kontroversi itu timbul karena penafsiran penulisnya yang amat dipengaruhi oleh bias pribadinya atau tujuan penulisannya.
Bersambung ,
Kedai EsKao, Maleber -Tjiandjoer, 07/05/2023