Pengantar
Dalam kesempatan dialog dengan generasi muda harokah islam,saat memperingati MILAD ke-39 SESMI di Cianjur, mereka bertanya tentang apa yang menjadi sebab-akar berpikir yang selama ini tidak menemukan titik-temu antara tokoh islam di negeri Wakanda terhadap agenda Indonesia Bersyariah. Bahkan, kecenderungan saat ini di wilayah politik ala demokrasi, cita-cita ini sudah kehilangan ‘magnit’-nya! Yang penting, bagaimana keadilan dan kesejahteraan rakyat tercapai, cape-cape harus memperjuangkannya dalam bingkai namanya ‘negara islam’ atau ‘khilafah islamiyyah’ atau ‘negara madinah’.
Padahal, jika melihat sejarah perjuangan Islam Bernegara,di Negeri ini,sejak Proklamasi Zelfbestuur (1916),dan perjuangan bernegara dilanjutkan melalui lajur kanan, Negara Islam Indonesia (1949-1962) dan lajur kanan-tengah, lewat Partai Masjoemi (1945-1960). Kedua sayap ini, sekalipun tidak pernah dalam satu kesatuan pergerakan, terbukti ‘KALAH SEMENTARA’ walaupun tidak berarti MENYERAH oleh pergerakan Nasionalis Sekuler Bernegara dengan tokoh-tokohnya seperti Tan Malaka, Sutan Sjahrir, Soekarno, dan Hatta.
***
Bagaiman sebenarnya, pemikiran politik ulama-cendekiawan di negeri Wakanda sejak 1940-an hingga saat ini?
Umumnya, para ulama dan cendekiawan tatkala membahas dan mengkritisi tentang praktek dakwah dan jihad Islam di era modern ini selalu dengan starting point-nya mendefiniskan dirinya dalam posisi sebagaimana Muhammad SAW sebagai kepala negara Madinah al Munawaroh atau Umar bin Khattab sebagai Kholifah dari suatu institusi Kekhilafahan Islam yang menguasai dan memerintah hampir lebih dari setengah Dunia. Hal ini menjadi naif, ketika ada kelompok harokah islamiyyah diberbagai belahan dunia, seperti Sarekat Islam -nya HOS Tjokroaminoto (PSII),yang berlanjut menjadi Negara Islam Indonesia, SM Kartosuwirjo, atau Ikhwanul Muslimin – nya dwitunggal Hasan Al Banna-Sayyid Qutbh yang berlawanan dengan rezim Mesir, atau Jamaat-e-Islami -nya Maududi di Pakistan.; atau Hizbut Tahrir-nya Taqiyyudin an Nabani di Palestina. Yordania. Kesemuanya itu adalah haroqah dakwah wal jihad yang memang mendefiniskan dirinya untuk mewujudkan suatu zelfbestuur (pemerintahan sendiri) berlandakan Kitabulloh dan Sunah Rosul. (Syariah Islam).
Maka, para ulama dan cendekiawan seperti ini merasa diri sudah final dalam bingkai negara bangsa (nation- state), tidak peduli apakah konstitusinya berdasarkan ISLAM, atau dengan istilah yang dianggapnya serupa, atau yang merasa cukup dengan definisi negara ‘bukan negara agama dan bukan negara sekuler’, sehingga tidak perlu ada lagi perjuangan dakwah wal jihad untuk menegakkan kembali minhajjun nubuwwah bernegara, sebagaimana berdirinya Negara Madinah dan Khilafah Rosyidah.
Tentu saja, tatkala membaca tafsir nya Fi Zilalil al Quran-dan Ma’alim fi al-Tariq -nya Sayyid Quthb, atau membaca Tafsir Azas dan Tadhim PSII-nya HOS Tjokroaminoto, atau buku Haluan Politik Islam dan Brosur Sikap Hidjrah-nya S.M. Kartosuwirjo atau kitabnya Kitab “al-Jihâd fî Sabîlillâh” atau “Al-Khilafah wa al-Mulk” -nya al Maududi, mereka tidak dalam posisi sebagaimana tokoh-tokoh tersebut menafsirkan ulang realitas historis sosial-politik di hadapanya sebagai model masyarakat-negara JAHILIYYAH MODERN.
Ketika berbicara tentang bagaimana Syariah Islam sebagai Rahmatan lil Alamin itu dipraktekkan dengan keadilannya Muhammad SAW sebagai kepala negara dan Umar bin Khatab sebagai Khalifah terhadap b erbagai kasus hukum dari umatnya, baik warga negaranya itu muslim maupun kafir (ahlil kitab,musyirik), maka oleh sebagian ulama dan cendekiawan modern, termasuk di Negeri Wakanda tidak sadardiri dengan menyikapinya saat ini , bahwa realitas politik Dunia Islam tidak lagi sebagai Imperium Islam yang menguasai dunia, bahkan berada dalam cengkraman Barat (Kapitalisme Internasiomal) dan dukungan agen-agennya.
Perjuangan Islam Bernegera dengan orientasi politik berdirinya kembali minhajjun nubuwwah-nya seperti Madinah dan khilafah bagi sebagian besar ulama dan cendekiawan muslim di negeri Wakadan tidak lagi masuk dalam agenda dakwah wal jihad-nya, karena sudah taklid dan menutup pintu ijtihad memfinalisasi-nya dalam bangunan negara-bangsa (national-state) yang merupakan by desain Barat-Kafir Harbiy, sejak perjanjian Skyes -Picot ditandatangani (1916). Jika ada keinginan untuk menerapkan Syariah Islam Bernegara, tentunya dalam platform demokrasi nasional, dengan instrument pemilihan umum via parlemen dan partai politik desain Barat saat ini yang mengarah kepada oligarchy dan otoriterisme-fasisme atasnama nasionalisme (ashobiah).
What next….
Bersambung, menjelang Dhuha Syawal 1444/30 Meni 2023